THE LOST TRAVELLER

Rabu, 30 Desember 2015

Sunrise dari Gantole Wonogiri

Libur sekolah telah tiba, saatnya memberikan jeda bagi kemonotonan rutinitas yang ada. Saya dan adik beserta 2 teman lainnya berencana untuk menghabiskan waktu untuk camping di Landasan Paralayang kabupaten Wonogiri. Lokasi landasan paralayang sendiri agak jauh dari pusat kota. Perjalanan untuk sampai di lokasi kurang lebih 25 menit dikarenakan jalanan yang menanjak dan cukup sulit untuk di lewati. Jika anda melewati pusat kota, maka pilihlah jalan menuju Polres Wonogiri. Lalu ikuti arah menuju ke karamba. Setelah kalian menemukan jembatan, lihatlah samping kanan kalian akan terpampang papan nama Landasan Paralayang.

Sebenarnya ada 2 spot untuk landasan paralayang ini. Saya biasanya menyebut Gantole 1 dan gantole 2. Gantole 1 letaknya relatif lebih dekat. Jika anda sudah sampai pada desa pertama, maka pertigaan pertama, silahkan anda belok ke arah kanan. Bila anda mengalami kesulitan untuk menemukannya, silahkan bertanya pada penduduk sekitar. Beginilah pemandangan di gantole 1 :


Demi untuk melihat sunrise di pagi hari sembari menikmati secangkir kopi, kami memutuskan untuk camping di Gantole 2 yang letaknya lebih tinggi dibandingkan Gantole 1. Jalan menuju ke gantole 2 juga relatif lebih sulit karena banyak tanjakan dan lekukan. Untuk melengkapi acara camping ini, kami menyewa peralatan untuk camping di @jejaksetapak. Jejak Setapak ini berlokasi di ruko belakang SMA Negeri2 Wonogiri. Jejak Setapak menyewakan berbagai macam peralatan untuk berkemah, seperti kompor, nesting, doom, head lamp, dll. 

Sore harinya, kami meminta ijin terlebih dahulu kepada bapak RT untuk melaksanakan camping, karena ada sebuah portal menuju ke Gantole 2 dan portal itu digembok pada waktu malam hari. Oleh karena itu, kami harus meminta ijin agar memperoleh kunci portal tersebut. Beginilah kira-kira surat ijin yang diberikan :

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00, kami bergegas untuk menuju ke Gantole 2. Kamipun menuju ke rumah bapak RT terlebih dahulu untuk mengambil kunci gembok portal sekaligus meminta ijin. Bapak RTnya ternyata sangat baik, kamipun diantar hingga ke atas. Setiba disana, kami lantas mendirikan doom kami. Doom kami sangat praktis dan mudah untuk didirikan, terlebih untuk pemula seperti saya dan adik saya. Setelah itu, kami memasak mie instan untuk mengisi perut yang sudah lapar. 

Hal yang paling membuat saya merasa senang adalah saya benar-benar dapat tidur beralaskan matras, beratapkan langit yang penuh bintang-bintang, serta bermandikan cahaya bulan. Ini kali pertama saya melaksanakan camping, dan saya dibuat menjadi ketagihan untuk camping lagi. Kami saling bertukar cerita hingga saya merasa dingin malam itu sudah menusuk tulang, saya memutuskan untuk masuk terlebih dahulu ke dalam tenda.

Langit masih berkabut dan waktu menunjukkan pukul 05.00 WIB, saya terbangun dan bergegas mencari air untuk wudlu. Entah mengapa, sholat Shubuh pagi ini terasa sangat berbeda untuk saya. Selepas beribadah, saya dan teman-teman menunggu matahari terbit. Kami harus bersabar untuk menunggu matahari muncul dari sela-sela kabut yang begitu pekat itu. Beginilah suasana kala itu, ketika perlahan matahari muncul :



Camping ini membuat saya semakin bersyukur atas Tuhan dan segala penciptaan-Nya yang begitu sempurna. Betapa Tuhan telah menyediakan  dan mengatur sedemikian tepatnya. namun sayang sekali, begitu matahari terlihat dan semua menjadi jelas. Kami melihat banyak seklai tumpukan sampah di sekitar kami. Entah itu bungkus makanan, sendok dan garpu bekas popmie, botol dan plastik bekas minuman, dan masih banyak sampah yang berserakahan. Belum lagi tembok yang dicoret-coret dengan nama mereka. Entah apa yang dipikiran orang-orang itu ketika menuliskan namanya dan tanggalnya di tempat itu. Apakah tidak ada cara yang lebih tepat untuk mengabadikan memori mereka selain dengan mencoret-coret? saya dan teman-temanpun ikut membersihkan sampah-sampah yang berserakahan tersebut agar terlihat lebih bersih.

Jadi, tertarik untuk camping? Silahkan, tapi jangan lupa bawa lagi sampahmu !

Minggu, 13 Desember 2015

Setapak sriwedari, gemulainya sang penari.


Gerimis sempat mengguyur kota Solo sore itu. Namun, itu tak menghentikan langkahku untuk mengunjungi suatu tempat di tengah kota Solo ini. Ku jejakkan kakiku ke arah THR Sriwedari yang memang letaknya sangat mudah dijangkau bagi semua orang yang mengunjungi kota Solo. 

Suasana sore itu begitu sunyi, hanya tampak beberapa orang yang berada di pendapa. Tatapan mataku langsung tertuju pada sekelompok orang yang sedang berlatih menari. Perpaduan antara musik etnik, gitar elektrik, dan saxophone itu mengundang keingintahuanku untuk mendekati mereka. Kubidikkan kameraku ke arah para penari yang tengah menggerakkan tubuhnya dengan gemulai. Membuat pasang mata yang melihatnya tak bosan menatap. Begitupula dengan tabuhan musik tradisional yang bergabung dengan petikan gitar serta saxophone, harmoni setelah hujan ini membuatku merasa sore ini sempurna.Lebih sempurnanya lagi, aku tak perlu mengeluarkan sepeserpun uang untuk melihat keindahan ini.


"Ini kolaborasi antara dua sanggar, mas. Musiknya dari Kemlaka Ethnic, penarinya dari Pesona Nusantara" kata si bapak yang sepertinya menjadi leader pada kelompok tersebut kepada temanku. Rupanya, di THR Sriwedari ini bukan saja menjadi tempat latihan namun tempat bernaungnya beberapa sanggar. Diantara sanggar-sanggar tersebut, sering diadakan kolaborasi untuk menyajikan sebuah pertunjukkan. Salah satunya adalah Kemlaka Ethnic yang sedang mempersiapkan sebuah pertunjukkan di Jakarta. Mereka menggandeng Pesona Nusantara karena kebetulan sanggar mereka berdekatan. Pesona Nusantara sendiri terdiri dari mahasiswa dan murid SMKI. Sanggar--sanggar tersebut berpartisipasi secara aktif  dalam event-event kesenian yang diadakan oleh kota Surakarta, Solo Batik Carnival misalnya. 

Kolaborasi antara dua sanggar ini sebenarnya harus di apresiasi oleh pemerintah dan masyarakat sekitar. Dewasa ini, rasa antusias para kaum remaja terhadap budaya sendiri dan keinginan mereka untuk melestarikannya adalah barang langka. hal yang sering terjadi adalah kaum remaja tersebut berteriak-teriak di pinggir jalan ketika budaya mereka diakui oleh negara lain, merasa haknya direbut, namun mereka sendiri tidak melaksanakan kewajibannya untuk nguri-uri budaya yang mereka miliki. 

Aku masih teringat ketika aku kecil, aku ikut belajar menari di sekolah dan di pendopo Kabupaten. Berbagai macam tari aku pelajari, seperti tari Gambyong, tari Srimpi, tari Kelinci, hingga tari Piring. Alangkah baiknya jika orang tua sesekali meluangkan waktunya untuk mengajak anaknya melihat berbagai macam kesenian tradisional, mengingat banyak sekali event kesenian tradisional yang telah diselenggarakan di beberapa kota. Mungkin, akan menjadi lebih mudah bagi kita untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya sendiri jika sejak sedari dini, anak-anak mulai diperkenalkan dengan budaya mereka dan membiarkan mereka menjadi bagian dari pelestari budaya itu sendiri. Karena nasib kesenian tradisional kita, ada di tangan kita dan juga bagaimana cara kita untuk mewariskannya kepada generasi setelah kita nantinya. 


Hari sudah mulai gelap, kututup pencarianku dengan segelas es teh sebagai pelepas dahaga. Aroma tanah selepas hujan dan foto yang kudapat sore ini, cukup membuatku dan mennghilangkan sejenak penat dari rutinitas yang sangat padat ini. Beruntunglah juga aku, mempunyai seorang teman yang mau meluangkan waktu untuk sekedar berkeliling, mencari foto, dan berbagi pengalaman denganku. Tuhan sebenarnya sudah menyediakan banyak sekali pembelajaran di sekitar kita, tinggal kita mau atau tidak untuk memaknainya.

Rabu, 09 Desember 2015

JOGJA, Let's get lost !



“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu.
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia, saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana jogja”


                Bait lagu dari Kla Project itu mengawali minggu pagiku kala itu. Bagi banyak orang, Jogja adalah kota yang  sering dirindukan. Entah magnet seperti apa yang ada di kota itu, sehingga menarik orang untuk kembali dan kembali lagi. Pesona wisata alamnya yang begitu banyak dan kebudayaan yang masih kental di kota itu, menjadi daya tarik yang tak lekang oleh waktu. Apalagi untuk orang yang pernah tinggal di kota itu untuk waktu yang lama sepertiku. 4,5 tahun berada di kota itu, membuatku benar-benar jatuh cinta. Begitu berat rasanya meninggalkan kota itu.
                Ah, akhirnya tiba saatku untuk kembali pada kota ini walaupun hanya untuk sejenak saja. Bagiku, cukuplah untuk mengobati kerinduanku pada kota ini. Aku bersama dengan empat orang temanku memutuskan untuk menghabiskan weekend ini di Jogja. Bermodalkan GPS dan pengetahuanku tentang jalanan di Jogja yang tidak begitu bagus, aku dan teman-teman memberanikan diri untuk get lost  ke Jogja.
                Tujuan pertama kami sebenarnya adalah hutan Pinus di daerah Imogiri. Hutan Pinus itu sudah terkenal di instagram, entah sudah berapa banyak orang yang berfoto disana. Kami mengambil arah mengikuti arah Piyungan, kemudian melewati bukit Pathuk hingga akhirnya tiba di jalan Imogiri. Kemudian kami menemukan tulisan Puncak Becici. Kami mengira, tempat itulah yang dimaksud kebanyakan orang sebagai hutan Pinus. Aku dan teman-teman sudah bersemangat untuk segera mengambil foto. Salah satu temanku bahkan sudah bersemangat mengambil bandana rusa, bandana macan, bandana bunga, hingga topi. Aku sudah bersemangat mengeluarkan kamera dan tripodku. Tapi ternyataaaaaaaaaaaaaaaa, jreng jreng. Tempatnya bukan ini yang dimaksud. Hutan pinus yang kami cari bukan di Puncak Becici ini.
                Akhirnya, karena  pemandangannya tak jauh berbeda dengan hutan Pinus yang sebenarnya, kami memutuskan untuk mengambil gambar disini saja.


Selain pemandangan hutan Pinus, Puncak becici ternyata juga menawarkan fasilitas untuk outbound seperti yang kami baca sebelumnya di papan pemberitahuan. Namun, cuaca gerimis waktu itu tidak mendukung kami untuk pergi ke tempat outbound tersebut.
                Tempat tujuan kami yang kedua adalah Gembira Loka Zoo, salah satu kebun binatang yang terkenal di Indonesia dan seringkali dijadikan sebagai tempat tujuan wisata. Terakhir kali aku mengunjungi tempat ini adalah ketika aku masih menjadi mahasiswi semester 2. Pada waktu itu, aku mengunjungi Gembira Loka untuk studi lapangan mata kuliah Vertebrata. Kebun binatang ini memang menyediakan informasi yang cukup sebagai pendukung untuk pembelajaran. Tidak jarang, anak-anak dari TK dan SD mengunjungi tempat ini untuk mengenal lebih dekat mengenai binatang.
                Keadaan Gembira Loka saat ini jauh sangat tertata dibandingkan ketika aku mengunjungi tempat ini di tahun 2010. Banyak sekali perbaikan terhadap penataan spot-spot yang telah dilakukan sehingga terlihat lebih menarik untuk dikunjungi. Terutama pada bagian Bird Park, disini ada sebuah spot dimana kami bisa berinteraksi langsung dengan burung-burung koleksi Gembira Loka tanpa dipungut biaya dengan memasuki satu buah ruang khusus. Di dalam ruang tersebut sudah terdapat beberapa burung yang sengaja dibiarkan lepas.           
taken by : +Ardian Nugroho 

Adanya tempat ini sangat menyenangkan bagiku, karena dapat digunakan sebagai media pembelajaran langsung. Anak-anak dapat melihat lebih dekat mengenai ciri-ciri makhluk hidup itu sendiri, cara makhluk hidup bergerak, apakah makanan mereka, apa yang membedakan hewan satu dengan hewan lainnya, dll. Melihat langsung objek yang mereka pelajari akan membawa ingatan mereka tersimpan pada long term memory sehingga memori tersebut akan tersimpan lebih lama. Mereka bukan lagi knowing, tetapi lebih kepada understanding.

Selanjutnya, kami meneruskan perjalanan menuju ke Sindu Kusuma Edu Park. Objek wisata ini terletak di Jalan Magelang km 3. Tidak terlalu susah bagi kami untuk menemukan tempat ini karena lokasinya yang masih berada di wilayah kota. Sindu Kusuma Edupark begitu booming di instagram, banyak sekali orang yang mengupload foto mereka, terutama dengan latar ferris wheel. Setiba disana, kami diberi penjelasan oleh pihak Sindu Kusuma Edupark mengenai bagaimana system pembayaran untuk menggunakan permainan-permainan yang ada di dalamnya. Selama di Sindu Kusuma Edupark ini, kami akan menggunakan kartu yang di dalamnya berupa saldo uang yang dapat kami gunakan untuk membayar permainan. Jika saldo habis, kami dapat melakukan top-up.
Ada berbagai macam permainan yang menarik disana, namun ada dua permainan yang menyita perhatianku. Permainan pertama adalah Segway. Segway ini mirip seperti airwheel, kita menjalankannya dengan menggunakan gerakan tubuh kita. Jika ingin bergerak maju, condongkan tubuh ke depan. Jika ingin mengerem atau berhenti sebentar, condongkan badan ke belakang. Jika ingin belok kanan atau kiri, putarlah stangnya. Hal yang paling penting dalam bermain Segway adalah bagaimana cara kita dalam menjaga keseimbangan kita. Bermain Segway ini seperti mengingatkanku bagaimana ketika aku harus menjalani kehidupan dengan seimbang, ada kalanya memang harus kulangkahkan kaki ke depan dan melesat mengejar apa yang menjadi keinginanku. Namun, sesekali aku perlu berhenti sejenak. Bukan untuk menyerah, tetapi untuk mensyukuri langkah yang telah aku tempuh.  

Selain itu ada, ferris wheel atau bianglala. Jinontro, kalau kakak sepupuku biasa menyebutnya. Keponakanku sangat menyukai bianglala atau ferris wheel ini, setiap melihat gambar atau objeknya asli, dia akan berteriak “itu jinontro, mah”. 


Dibalik bianglala yang begitu gagah berdiri itu, tersimpan nilai kehidupan bahwa hidup akan selalu berputar. Lihatlah bagaimana jinontro itu berputar pada porosnya, sebagaimana perputaran hidup kita dengan Tuhan sebagai porosnya. Apabila tidak ada poros tersebut, rusaklah si bianglala. Sebagaimana jika kita tidak menyertakan Tuhan dalam kehidupan kita, maka rusaklah hidup kita. Satu hal yang kita perlu mengerti, bahwa tidak ada kebahagiaan yang bersifat selamanya. Tetapi kabar baiknya, tidak ada pula kesedihan yang bersifat selamanya pula. Nothing lasts forever. Semua ada waktunya. Ada waktunya kita sedih, tetapi ada waktunya kita bahagia. Terkadang kita harus menangis begitu pedih, nantinya kita juga akan tertawa terbahak-bahak. Hal yang perlu kita tahu juga, jangan pernah takut dalam menjalani kehidupan hanya karena kita tahu nantinya kita pasti akan mengalami kesedihan. Jika kamu tidak menyingkirkan rasa takutmu untuk menaiki bianglala itu, kamu tidak akan melihat keindahan yang dapat kamu temui ketika kamu berada di atas. Sama halnya seperti hidup ini, kamu tidak dapat berada di atas jika kamu tidak membuang ketakutanmu terlebih dahulu.






Rabu, 25 November 2015

Wonogiri, The Hidden Paradise ( bagian 1)

Wonogiri, mungkin kota ini sudah tidak asing bagi warga Solo dan sekitarnya. Namun, untuk masyarakat umum, masih banyak yang kurang mengenal Kabupaten Wonogiri. Secara geografis Wonogiri berlokasi di bagian tenggara Provinsi Jawa tengah. Bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo, bagian selatan langsung di bibir Pantai Selatan, bagian barat berbatasan dengan Gunung Kidul di Provinsi Yogyakarta, Bagian timur berbatasan langsung dengan  Kabupaten Ponorogo dan Pacitan


Kota Wonogiri sendiri tidak terlalu besar, pusat Kabupatennya berada di Kecamatan Wonogiri. Namun, beberapa tahun belakangan ini, Wonogiri sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Sejak kemunculan hastagh #explorewonogiri, munculah beberapa tempat yang dapat digunakan untuk menyalurkan hobi memotret ataupun sekedar ingin berkumpul dan berfoto dengan teman - teman. Berikut 5 tempat pertama yang wajib kamu kunjungi jika kamu pergi ke kabupaten Wonogiri :

1. Hutan Pinus Wonogiri



Hutan ini sebenarnya adalah milik Perhutani yang biasa dikenal dengan HUtan Pinus Siwondo,. Hal tersebut mengingat letaknya yang ada di Dusun Siwondo, Desa Gumiwang Lor, Kecamatan Wuryantoro, Wonogiri. Jaraknya kurang lebih 3 kilometer dari jalan raya, namun lokasinya begitu sejuk. Beberapa kali hutan Pinus ini digunakan sebagai lokasi untuk pembuatan buku kenangan ataupun lokasi pre-wedding.

2. Randubang

Randubang ini sebenarnya adalah nama sebuah dusun yaitu Dusun randubang, Desa Pare, Kecamatan Wonogiri.  Letaknya adalah dari Polres Wonigir menanjak ke arah barat. Tempat ini sebenarnya adalah tempat untuk penambangan batu. bekas penambangan batu inilah yang biasa digunakan sebagai tempat untuk berfoto.

4. Landasan Paralayang


Landasan paralayang ini lebih dikenal dengan sebutan Gantole. Lokasi ini biasanya digunakan sebagai landasan untuk para penerjun payung. Landasan Paralayang ini berada di bawah kepemilikan bandara Adi Soemarmo. Lokasinya tidak jauh dari Waduk Gajah Mungkur.  Terdapat 2 lokasi untuk landasan paralayang, gantole bawah dan atas. Keduanya sangat cocok bagi pemburu sunrise dan sunset.

5.  Rumah Piring

Sebenarnya lokasi ini bukan salah satu objek wisata yang ada di Kabupaten Wonogiri, tempat ini hanyalah sebuah rumah tua yang sudah tidak ditempati lagi. Beberapa bulan terakhir ini, tempat ini sangat sering dikunjungi oleh banyak remaja karena dinding rumahnya yang unik. Pada dinding rumahnya, tertata rapi piring-piring dengan ornamen Cina. Lokasinya tak jauh dari landasan paralayang.

5. Telaga Claket

Foto ini saya ambil sekitar 2 tahun yang lalu. Sebenarnya lokasi ini sudah tidak  asing bagi saya, namun lokasi ini baru menjadi hits di Wonogiri sekitar 6 bulan terakhir ini. Bahkan untuk berfoto di lokasi inidikenakan biaya retribusi sebesar Rp 5.000,00. Telaga Claket ini terletak tepatnya di desa Sendangijo, Kecamatan Selogiri, Wonogiri. 

Mengingat banyaknya potensi wisata yang ada di Kabupaten Wonogiri, ada baiknya pemerintah Kabupaten mulai berpikir serius untuk mengangkat potensi wisata ini menjadi salah satu sumber pendapatan daerah. Sehingga, objek wisata akan lebih terkelola dengan baik.



Sabtu, 14 November 2015

SOLO HERITAGE - BENTENG VAS TEN BURG

Setelah bergelut dengan rutinitas selama seminggu penuh, akhirnya tibalah hari Jum'at. Hari dimana setelah pukul 3 sore hari, saya bisa meluangkan waktu saya untuk kembali bergelut dengan hobi saya. Sedari dulu, saya selalu menyediakan waktu dari Jum'at sore hingga Minggu siang untuk merehatkan sejenak urat-urat saraf dari kemonotonan yang ada selama seminggu penuh. Yah, seperti sebuah paragraf. Tanpa adanya jeda, paragraf itu tidak akan enak dibaca. Begitupula pikiran manusia,kita membutuhkan jeda itu untuk memunculkan kembali ide-ide kreatif yang ada di dalam diri kita.

Sejak beberapa hari yang lalu, saya ingin sekali mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang ada di Solo. Kebetulan, saya sendiri adalah pendatang di kota Solo ini, jadi belum terlalu paham betul dengan apa yang ada di kota Solo ini. Ada beberapa tempat yang menarik bagi saya, tapi sayang sekali karena keterbatasan jam kunjungan, maka saya tidak dapat kesana sepulang dari bekerja. Lalu, pikiran saya tertuju pada salah satu bangunan tua yang sebenarnya sudah sangat akrab dengan saya. Bangunan ini terletak di jantung kota Surakarta, letaknya tidak jauh dari Keraton dan Gedung Balai Kota serta berhadapan langsung dengan Gedung Bank Indonesia. Beberapa pagelaran sering digelar di bangunan ini, terakhir kali bangunan ini digunakan untuk Solo International Performing Art atau yang biasa dikenal dengan SIPA. Yap, bangunan ini adalah Benteng Vas Ten Burg.


Beruntunglah saya, karena hari ini saya akan ditemani oleh seorang teman saya yang memiliki interest sama dengan saya dalam hal memotret, menulis, dan minum kopi. Partner sharing saya ini juga bukan asli dari Solo sehingga sore kali ini kami akan menghabiskan waktu sebagai the lost traveller. Berbekal kamera dan sepeda motor, kami pergi ke benteng Vas Ten Burg.


Setiba disana, kami berjalan menuju ke lokasi. Ternyata benteng ditutup dan kami tidak dapat masuk ke dalam. Benteng Vas Ten Burg ternyata sedikit berbeda dengan benteng Vre Den Burg yang ada di kota Yogyakarta. Benteng Vre Den Burg terbuka untuk umum, sedangkan benteng Vas ten Burg ternyata hanya dibuka untuk event-event tertentu saja. Informasi ini kami peroleh dari Bapak Sukino, seorang pemulung yang setiap harinya bekerja memungut sampah di sekitar benteng Vas Ten Burg. Dari gerbang, terlihat bahwa di dalam terdapat bangunan seperti ruang-ruang. Menurut penjelasan bapak tersebut, bangunan tersebut juga pernah digunakan sebagai asrama para prajurit. Saya teringat dengan artikel yang saya baca di wisata solo, pernah dijelaskan bahwa setelah kemerdekaan pernah berfungsi sebagai kawasan militer dan asrama bagi Brigade Infanteri 6 atau Kostrad.  Bangunan di dalam benteng dipetak-petak untuk rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya.Bangunan ini pada awalnya bernama "Grootmoedigheid" dan didirikan oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1745.  Benteng ini dahulu merupakan benteng pertahanan yang berkaitan dengan rumah Gubernur Belanda. Benteng dikelilingi oleh kompleks bangunan lain yang berfungsi sebagai bangunan rumah tinggal perwira dan asrama perwira. Bangunan benteng ini dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi enam meter dengan konstruksi bearing wall serta parit dengan jembatan angkat sebagai penghubung. 


sumber : wikipedia.com



Menurut informasi bapak Sukino, dulunya di depan benteng ini ada sebuah selokan yang cukup besar. Dulunya, terdapat banyak ikan pada selokan itu. Namun kini selokan itu telah ditutup. Di depan benteng juga terdapat beberapa sumur dan perumahan penduduk, namun kini telah dirobohkan oleh Pemkot sehingga hanya tersisa 2 buah sumur yang masih bisa digunakan. Perbaikan yang dilakukan terhadap benteng ini hanya sebatas pada pengecatan ulang dengan cat warna putih.



 sebelum perbaikan
 sumber : wisatasolo


setelah perbaikan

Namun, benteng ini telah memberikan "kehidupan" sendiri bagi Bapak Sukino. Sepeninggal istrinya, Bapak Sukino bekerja sebagai pemulung yang memungut sampah di sekitar benteng Vas Ten Burg ini. Sejak tahun 2000, bapak Sukino mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga anaknya mampu hidup secara mandiri. Sampah-sampah yang dibuang oleh orang secara sembarang tersebut telah memberikan kehidupan sendiri bagi bapak Sukino. "mboten nopo-nopo mbak mas, sing penting kulo saged nguripi anak kulo. Mending kulo njipuki sampah, daripada mbayar dados pegawe" begitu kata Bapak Sukino. 


Kurang lebih setengah jam, kami berbincang dengan Bapak Sukino. Kami tak hanya mendapatkan informasi mengenai benteng Vas ten Burg sendiri, namun juga mendapatkan pembelajaran dari kisah hidupnya. Seperti layaknya sepeda, untuk dapat menjalankan sepeda itu, kamu harus mengayuh rodanya. Begitupula dengan kehidupan, untuk menjalankan kehidupan ini, kamu harus bergerak bergerak dan bergerak. Kerjakan apa yang kamu bisa sesuai dengan kemampuanmu dan jujur dalam setiap langkah yang kamu pilih. Kamu tidak perlu malu dengan apa yang kamu kerjakan selama yang kamu kerjakan itu tidak menyalahi aturan dan tidak menyalahi aturan-Nya. Tuhan mengirimkan kita ke dunia ini untuk tugas masing-masing.

Mataharipun bergerak kembali ke peraduannya, semburat lembayung senja berganti menjadi pekat. Senjapun mengucapkan selamat tinggal, kamipun melangkah pulang. 
Designed By Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates